BUNG KARNO


Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh orangtuanya. Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bhatara Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam Bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik". Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh dirubah. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno. Cara yang paling tepat untuk melukiskan tentang sejatinya Soekarno adalah dengan menamakannya seorang yang maha-pencinta. Ia mencintai negerinya, rakyatnya, wanita, seni dan segala-galanya yang akan cinta dirinya sendiri.

Sukarno sosok seseorang yang penuh dengan perasaan. Seorang pengagum dan selalu menarik nafas yang panjang bila memandang pemandangan yang menawan. Jiwanya bergetar saat memandangi matahari terbenam di Indonesia dan menangis di kala menyanyikan lagu spiritual orang negro.
Saat menjabat sebagai presiden, Bung Karno mempunyai kebiasaan melihat kehidupan rakyat, berdialog dengan rakyat. Pada malam hari beliau melepaskan peci dan seragam agar tidak dikenal rakyat mendatangi beberapa tempat di Jakarta untuk mendengarkan suara rakyat.
Namun, suara khas Bung Karno saat berdialog seringkali dikenali rakyat sehingga mengundang massa berdatangan. Menurut Bung Karno, mendengarkan dialog rakyat seperti merasakan kekuatan hidup mengalir ke seluruh tubuhnya.
"Aku ingin berbaur dengan rakyat. Itulah yang menjadi sifatku. Tetapi, sekarang aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Sering aku merasa tercekik, nafasku mau berhenti, apabila aku tidak bisa pergi keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku. Demikian ujar Bung Karno kepada Cindy Adams di tahun 1965.
Kecerdasan memimpin suatu revolusi hanya dapat dijumpai dan dicapai dengan mencari ilham dalam segala sesuatu yang dilihat. Dan hanya orang yang memiliki perasaan dan bukan manusia-seni barang sedikit yang memperoleh ilham...
Ketika perasaan yang yang menekan ini mulai memukul-mukul dadaku selama dua puluh empat jam dalam sehari, ku coba menghilangkannya dengan meratapi anak-anak pada setiap kesempatan yang kuperoleh.


dari berbagai sumber

Comments

Popular Posts