Apa benar JOGLOSEMAR (Mistis)?



Entah kapan tercetusnya istilah ‘JOGLOSEMAR’ tepat di tanggal, bulan, dan tahun berapa? Namun JOGLOSEMAR merupakan penggabungan tiga kota utama di Jawa Tengah yaitu Jogja, Solo dan Semarang. Setelah berkutat mencari artikel tentangnya, akhirnya saya menyerah juga. Di sini saya mencoba untuk menguak makna apa yang terkandung pada JOGLOSEMAR itu sendiri, lepas dari kefaktaan, jadi artikel yang saya buat ini hanyalah sebuah artikel inspiratif. JOGLOSEMAR jika dibagi dua suku kata akan menjadi JOGLO dan SEMAR. Joglo adalah sebuah rumah dimana merupakan tempat untuk bernaung, berteduh dan tempat berlindung. Sedangkan Semar merupakan tokoh dalam sebuah pewayangan dan digambarkan sebagai seorang biasa namun sejatinya dialah bapak dari para raja-raja dewa.       

Joglo merupakan rumah adat masyarakat Jawa. Terdiri dari 2 (dua) bagian utama yakni pendapa dan dalam. Bagian pendapa adalah bagian depan Joglo yang mempunyai ruangan luas tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan untuk menerima tamu atau ruang bermain anak dan tempat bersantai keluarga. Bagian dalam adalah bagian dalam rumah yang berupa ruangan kamar, dan ruangan lainnya yang bersifat lebih privasi. Ciri-ciri bangunan adalah pada bagian atap pendapanya yang menjulang tinggi seperti gunung. Oleh karenanya gunung dalam kosmologi manusia Jawa berperan sangat penting. Dalam masyarakat Jawa gunung sebagai lambang untuk bisa ditemukan dalam banyak bentukan, misalnya dalam pertunjukan Wayang Kulit pada permulaan dan akhirnya ada Gunungan. Gunungan itu dalam ceritanya bisa berlambang gunung, rumahnya para dewa-dewa, hutan atau masalah besar untuk perannya.  Untuk masyarakat Jawa sendiri, gunung adalah penderma dan pengambil. Masyarakat Jawa hidup bersama alam, sepanjang sejarah masyarakat Jawa, mereka sering mengalami bencana seperti letusan gunung berapi, gempa, banjir dan gelombang air pasang. Menurut kosmologi Jawa, bencana seperti di atas berhubungan dengan tindakan manusia, masyarakat Jawa tidak memisahkan diri dengan dunia manusia, alam dan gaib tetapi semua adalah satu.
  
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa. 
Semar merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu saja kita tidak akan menemukan nama Semar dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana yang berbahasa Sansekerta. Dalam lakon wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang lain yang merupakan “anak-anak” dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut salah satu literatur disebutkan bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak kandung Semar. Gareng sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan Semar-lah yang telah berhasil membebaskan kutukan itu. Petruk sendiri sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sedangkan Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam setiap pementasan wayang kulit karena merupakan sang penyampai pesan. Semar dikisahkan bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan merupakan penjelmaan dari Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru yang sekaligus juga merupakan raja para dewa. Memang ada beberapa versi tentang asal-usul dari tokoh Semar ini. Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini merupakan penjelmaan dari dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di Karangdempel. Karang berarti gersang. Sedangkan dempel berarti keteguhan jiwa. Kalau kita perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh Semar ini yang sangat mengagumkan. Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya membangun sarana dari dasar dan naya atau nayaka yang berarti utusan. Maksudnya mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi  kesejahteraan manusia. Secara Javanologi, Semar berarti haseming samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar berarti sang penuntun makna kehidupan. Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, yang merupakan simbol dari pria dan wanita. Tangan kanan Semar ke atas, maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik. Semar berambut “kuncung” seperti anak-anak. Maknanya hendak mengatakan bahwa akuning sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan, Semar selalu menghadap keatas. Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan Yang Maha Pengasih serta Penyayang umat. Selain itu Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif  Parangkusumorojo, yang merupakan perwujudan Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia agar memayuhayuning bawono, yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi. Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya. Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas, dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa. Semar (pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati.

Setelah memahami dua pengertian Joglo dan Semar di atas perlu diketahui bahwa sebetulnya titik nadir bangsa ini bertepat di tiga kota tersebut (menurut kosmologi). Jogja dan Solo adalah merupakan sebuah rumah atau payung bagi yang menghuninya dan hingga saat ini keeksistensi kerajaannya masih diakui baik dari dalam maupun dari luar. Dan Semarang adalah orang yang menjadi penghuni. Coba lihat saja dari kasus-kasus besar yang pernah terjadi di bangsa ini, selama JOGLOSEMAR belum tersentuh atau tak terguncang maka bangsa ini akan lempeng-lempeng saja. Menilik kasus besar yang terjadi di tahun 1998, banyak kota-kota besar di negara ini yang telah kisruh namun belum jua menumbangkan era orde baru walaupun bumi Jogja dan Solo sudah membara di kala itu jika semarang mungkin saat itu tidak sampai terguncang mungkin era orde baru masih bertahan. Memang tipikal orang semarang itu cenderung lebih ramah, bahkan sedikit acuh atau tidak peka dengan hal-hal yang berbau kekerasan jika tidak menyentuh bagian “Perut”. Seperti filosofi Semar, dia tidak gampang marah namun bila sudah amat terlalu, kemarahannya bisa menggetarkan dunia para dewa bahkan raja-raja dewa pun tidak berani untuk menegurnya. Semua peristiwa alam yang terjadi adalah merupakan peristiwa gaib, karena semua terjadi karena kehendak Yang Maha Gaib, Allah SWT. JOGLOSEMAR tetaplah harus kokoh menjadi satu berkaitan. Jangan sampai Joglo runtuh, yang ada tinggal-lah Semar. Inilah hakekat kondisi negara saat ini. Sebagai bangsa yang berbudaya, patutlah kita berpegang teguh pada jatidiri bangsa sendiri sebab nilai-nilai arif leluhur kita-lah yang membawa bangsa ini menjadi maju.


dari berbagai sumber

Comments

Popular Posts